BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Konversi lahan atau alih fungsi
lahan pertanian sebenarnya bukan masalah baru. Pertumbuhan penduduk dan
pertumbuhan perekonomian menuntut pembangunan infrastruktur baik
berupa jalan, bangunan industri dan pemukiman, hal ini tentu saja harus
didukung dengan ketersediaan lahan. Konversi lahan pertanian dilakukan secara
langsung oleh petani pemilik lahan ataupun tidak langsung oleh pihak lain yang
sebelumnya diawali dengan transaksi jual beli lahan pertanian. Faktor-faktor yang
mempengaruhi pemilik lahan mengkonversi lahan atau menjual lahan pertaniannya
adalah harga lahan, proporsi pendapatan, luas lahan, produktivitas lahan,
status lahan dan kebijakan-kebijakan oleh pemerintah.
Pertumbuhan
ekonomi yang ditandai dengan berkembangnya industri, prasarana ekonomi,
fasilitas umum, dan permukiman dimana semuanya memerlukan lahan telah
meningkatkan permintaan lahan untuk memenuhi kebutuhan nonpertanian. Namun
pertumbuhan ekonomi juga meningkatkan kondisi sosial ekonomi pada lahan non pertanian.
Kondisi inilah yang membuat konversi lahan pertanian terus meningkat seiring
dengan laju pertumbuhan dan pembangunan
ekonomi yang tidak mungkin dapat dihindari.
Di Indonesia, angkanya memang sangat
mencengangkan. Selama tahun 2000-2002, luas konversi lahan sawah yang ditujukan
untuk pembangunan nonpertanian, seperti kawasan perumahan, industri,
perkantoran, jalan, dan sarana publik lainnya rata-rata sebesar 110.160 hektar
per tahun. Ini berarti, terdapat sekitar 3000 hektar sawah per hari yang
beralih fungsi ke non pertanian. Di daerah Jawa Barat, laju konversi sawah
irigasi rata-rata 5.000-7.000 hektare per tahun. Itu terjadi di Karawang,
Bandung, Garut, dan Cianjur. Sementara sekitar 8.000 hektare sawah beririgasi
di Bekasi berubah jadi areal industri dan perumahan. Tahun 2008, luas lahan
pertanian yang tersisa di Indonesia adalah sebesar 7,7 juta hektar dengan laju
konversi 110.000 hektar sawah pertahun. Konversi
lahan pada dasarnya merupakan hal yang wajar terjadi, namun pada kenyataannya konversi
lahan menjadi masalah karena terjadi di atas lahan pertanian yang masih
produktif. Berbagai peraturan telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk membatasi
terjadinya fenomena alih fungsi lahan, namun upaya ini tidak banyak berhasil
karena adanya kemudahan untuk merubah kondisi fisik lahan sawah, peraturan yang
bertujuan untuk mengendalikan konversi lahan secara umum hanya bersifat
himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang jelas, serta ijin konversi merupakan
keputusan kolektif sehingga sulit ditelusuri pihak mana yang bertanggung jawab
atas pemberian ijin konversi lahan. Sedangkan menurut DPRD Kalteng meminta ahli
fungsi lahan pertanian menjadi kawasan perkebunan diinvertarisir kembali.
Pasalnya, sekitar 117 ribu hektare lahan pertanian di kalteng, diduga telah
dialih fungsikan untuk kawasan perkebunan yang diberikan kepada perusaan besar
swasta.
1.2 Rumusan
masalah
1. Bagaimanakah
Perkembangan Penduduk dan Alih Fungsi Lahan
Pertanian?
- Apa sajakah Faktor Yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian?
3. Apa sajakah
Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian?
4. Apakah Dampak dari Konversi Lahan Pertanian?
1.3 Tujuan
Penulisan
1.
Untuk Mengetahui Perkembangan Penduduk dan Alih Fungsi Lahan Pertanian.
2.
Untuk
Mengetahui Faktor Yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian.
3.
Untuk
Mengetahui Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian.
4.
Untuk
Mengetahui Dampak dari Konversi Lahan Pertanian.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perkembangan
Penduduk dan Alih Fungsi Lahan Pertanian
2.1.1 Perkembangan
Penduduk Indonesia
Jumlah
penduduk Indonesia tahun 1977 sekitar 135.000.000 jiwa dan tahun 2010 meningkat
pesat hingga menjadi berjumlah 237.556.363 jiwa (BPS Pusat, 2010). Dari sini
dapat diartikan jika setiap tahunnya lahan pertanian Indonesia banyak yang
berubah menjadi lahan non pertanian (pemukiman, Industri dll) akibat ledakan
pertambahan penduduk yang tinggi.
2.1.2 Alih
Fungsi Lahan Pertanian Indonesia
Menurut
Biro Pusat Statistik (2001) yang menyatakan, bahwa luas lahan sawah Indonesia
pada tahun 1993 ± 8.500.000 ha selanjutnya pada tahun 2000 (7 tahun) telah
menyusut serius hingga menjadi tinggal seluas 7.790.000 ha atau susutnya lahan
710.000 ha atau setiap tahunnya tanah sawah Indonesia menyusut 59,167 ha.
Sedangkan menurut Dit Penatagunaan Tanah BPN (1998), bahwa luas tanah sawah di
Indonesia sampai tahun 1998 baik sawah irigasi teknis dan non teknis adalah
7.796.430 ha uraiannya di P.Jawa beririgasi teknis 58%, serta 42% irigasi non
teknis dan non irigasi. Di luar P.Jawa sebagian besar sawah non irigasi
(>75%).
2.2 Faktor
Yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian
Faktor
yang berpengaruh terhadap alih fungsi lahan pertanian seperti di atas kiranya
dapat dikelompokkan menjadi 10 faktor penting yang sering terjadi di suatu
wilayah antara lain:
1. Faktor
Ekonomi
Pendapatan hasil
pertanian (terutama padi) masih jauh lebih rendah, karena kalah bersaing dengan
yang lain (terutama non pertanian)seperti usaha industry dan perumahan dll. Hal
inilah yang mendorong mereka tertarik pada usaha lain di luar pertanian seraya
berpengharapan pendapatannya mudah meningkat (walaupun belum tentu karena
mayoritas ketrampilannya masih minim) dengan mengganti lahan pertanian (sawah)
menjadi lahan non pertanian.
2.
Faktor Demografi
Dengan semakin
bertambahnya penduduk (keturunan), berarti generasi baru memerlukan tempat
hidup (tanah) untuk usaha yang diambil dari lahan milik generasi tua atau tanah
Negara. Hal ini jelas akan menyempitkan/mengurangi luas tanah secara cuma-cuma
disamping adanya keinginan generasi berikutnya merubah lahan pertanian yang
sudah ada.
3. Faktor
Pendidikan dan IPTEKS
Dengan
minimya pendidikan karakter (mental baja terhadap setiap usaha yang diinginkan)
dan minimnya IPTEKS yang dimiliki mayoritas rakyat Indonesia, maka sering
terjadinya sebagian masyarakat cenderung mengambil jalan pintas dalam mengatasi
masalah seperti usaha seadanya (mengeksploitasi
lahan pertanian hingga tidak produktif/rusak, menjual tanah, merubah lahan
pertanian ke non pertania)tanpa memikirkan dampak untung dan ruginya, sehingga
manakala terjadi masalah maka kerugiannlah yang di dapat (menderita).
4. Faktor
Sosial dan Politik
Factor
social yang merupakan pendorong alih fungsi lahan antara
lain: perubahan perilaku, konversi dan pemecahan lahan, sedangkan sebagai
penghambat alih fungsi lahan adalah hubungan pemilik lahan dengan lahan dan
penggarap. Faktor Politik dapat dilihat dari dinamika perkembangan
masyarakat sebagai efek adanya otonomi daerah dan dinamika perkembangan
masyarakat dunia , tentunya ingin menuntut hak pengelolaan tanah yang lebih
luas dan nyata (mandiri), sehingga di sini dapat timbul keinginan adanya upaya
perubahan tanah pertanian (alih fungsi lahan pertanian).
5. Perubahan
Perilaku
Adanya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (alat komunikasi, transportasi,
informasi radio, tayangan TV, berita teman dll) yang pernah diketahui/dilihat
sebagian besar masyarakat (petani) dapat berpengaruh terhadap perubahan sikap yang berlebihan. Misalnya
melihat orang yang bekerja kantoran kelihatan lebih enak, cakep dan
penghasilan tinggi dibanding kerja sebagai petani nampak lusuh, kotor,
sengsara, tidak keren, terasing dan penghasilannya rendah, terimanya
penghasilan tidak rutin (nunggu beberapa waktu/musim panen)dll.
6. Konversi
dan pembagian lahan pertanian
Keinginan
untuk mengadakan konversi dan pembagian lahan pertanian dapat menyebabkan
terjadinya perubahan hak kepemilikan tanah atau hak pengelolaan tanah, sehingga
yang terjadi dapat berubahnya lahan pertanian menjadi non pertanian atau
pengurangan (penyempitan) lahan pertanian.
7. Hubungan
pemilik lahan dengan lahan dan penggarap
Hubungan
pemilik lahan dengan lahan dan penggarap dalam konteksnya adalah pemilik lahan
merasa lahannya sebagai warisan dari orang tuanya, wahana berbagi rasa dengan
penggarapnya, sehingga lahan tersebut perlu dipertahankan walaupun dengan
resiko nilainya semakin menurun jika tidak ada upaya pengelolaan yang bagus
(tidak ramah lingkungan) akibatnya kondisi lahan terus merosot bahkan terjadi
kerusakan.
8. Otonomi
Daerah dan Perkembangan Masyarakat Dunia
Adanya
kebijakan otonomi daerah menuntut pemerintah daerah dan masyarakatnya agar
lebih luas dan mandiri dalam setiap pengelolaan potensi daerah (tidak
terkecuali pemanfaatan lahan pertanian). Hal ini jelas menuntut adanya
konsekwensi perubahan tentang status kepemilikan maupun pengelolaan tanah
pertanian yang ujungnya tentunya ingin mengadakan upaya mengalihkan fungsi
lahan pertanian (sawah), walaupun harus melalui konflik/ketegangan dengan
berbagai fihak.
9. Faktor
Kelembagaan
Kelembagaan
Petani seperti Himpunan Kerukunan Tani (HKTI), Gabungan Kelompok Tani
(Gapoktan) dll terasa belum mempunyai kekuatan dan peran yang mantap terhadap
anggotanya maupun dalam hubungannya dengan pihak pemerintah, maupun pihak lain
yang terkait. Misalnya Hal ini terjadi oleh adanya masalah internal
(primordial) seperti anggota (pengurus ) yang beragam (pengurusnya beragam
latar belakang, maupun sebagian besar anggotanya miskin) serta tidak dapat
berkomitmen dalam persatuan demi kemajuan organisasi dan anggotanya, dengan
lebih banyak mementingkan pribadi/golongannya, sehingga yang terjadi melemahkan
kekuatan organisasi atau lemah dalam posisi tawar terutama dengan pemerintah
sebagai mitra kerjanya lebih-lebih seharusnya dapat menjadi orangtuanya. Pada
hal pemerintah seharusnya bertanggung jawab penuh terhadap kehidupan sekaligus kemajuan organisasi ini. Posisi tawar yang
dimaksud salah satunya menyangkut pengendalian kestabilan harga bahan pangan
(makanan pokok misal beras). Setiap ada gejolak kenaikan harga sembako, maka
para konsumennya mengeluh karena
menurutnya akan menyebabkan kenaikan harga barang/kebutuhan
lainnya sehingga menyebabkan pengeluaran biayanya semakin tinggi.
10. Faktor
Instrumen Hukum dan Penegakannya
Sebenarnya
telah banyak instrument hukum yang telah dibuat oleh pemerintah untuk
mengendalikan atau menghambat laju terjadinya alih fungsi lahan pertanian.
Secara kongkrit UU yang dimaksud telah terbit diawali ketika bangsa Indonesia
belum lama merdeka, yakni: Undang-Undang yang menyangkut keagrariaan No.5/1960
tentang Pertaturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang mengatur kepemilikan lahan (land
reform, lahan ingendom dll) maupun untuk mengelolanya baik oleh Negara dan
warganya; UU No.5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistem; UU No.41/2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan.
Tentunya UU tsb harus benar-benar dapat mengatur pembangunan ekonomi (industry)
yang tetap berbasis produksi pertanian.
2.3 Strategi
Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian
Agar
pengendalian terhadap upaya alih fungsi lahan pertanian dapat efektip dan
efisien di suatu wilayah, maka ditawarkan strategi sbb:
1.
Kebijakan Pemerintah
Kebijakan
pemerintah yang dibuat harus pro rakyat, artinya kebijakan tersebut benar-benar
memperhatikan kepentingan rakyat, sehingga rakyat merasa nyaman hidup dengan
keluarganya maupun selalu mau/memperhatikan ajakan pemerintah untuk
menyukseskan pembangunan, tidak mudah tergoda adanya hasrat untuk mengkonversi
tanah pertanian.
2.
Instrumen Hukum
Perlu
diupayakan secara kongkrit dalam hal : (1) .Mencabut sekaligus mengganti
Peraturan perUU yang tidak sesuai kondisi kebutuhan petani serta dengan
mencantumkan sangsi yang tegas dan berat bagi pelanggarnya; (2). Penerapan
pengendalian secara ketat khususnya tentang perijinan perubahan alih fungsi
lahan pertanian dan pengelolaannya harus sesuai RTRW; (3). Menerapkan sangsi
yang tegas dan berat bagi pelanggarnya misal pelanggaran RTRW dll; (4).
Memberikan sangsi yang jauh lebih berat bagi pelanggarnya dari kalangan aparat
pemerintah/penegak hukum antara lain yang menyangkut perijinan, perubahan
status tanah, dll; (5). Membuat UU yang memberikan jaminan kekuatan yang
memadai dan sederajat bagi organisasi petani dalam hubungannya (memperjuangkan
haknya) dengan fihak pemerintah dan organisasi lain yang menyangkut setiap
pengambilan keputusan, khususnya yang menyangkut kebutuhan petani; (6).
Pembuatan UU yang menyangkut jaminan kestabilan kelahiran maksimal 2 orang bayi
untuk seluruh rakyat Indonesia yang berkeluarga; (7). Merevisi PP No.25 Tahun
2000 Tentang Kewenangan Pemerintah Daerah dan Kewenangan Propinsi Sebagai
Daerah Otonom dengan mencantumkan hak-hak penguasaan tanah oleh Negara dan
rakyat yang lebih pro rakyat; (8). Mengganti Keppres No.53 Tahun 1989 Tentang
Kawasan Industri; Keppres No.33 Tahun 1990 Tentang Penggunaan Tanah Bagi
Pembangunan Kawasan Industri dengan Keppres baru yang lebih pro rakyat; dan
(9). 9.Mendukung keberadaan UU No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Berkelanjutan serta mengawasi pelaksanaan dan penegakannya.
3.
Instrumen Ekonomi
Perlu
diupayakan secara kongkrit dalam hal pembuatan : (1). Kebijakan yang menyangkut
jaminan kestabilan harga dan keberadaan stok barang kebutuhan petani; (2).
Kebijakan yang menyangkut jaminan kestabilan system distribusi (penyaluran)
barang kebutuhan petani; (3). Kebijakan yang menyangkut jaminan social tenaga
kerja (asuransi kerugian hasil pertanian sepertti gagal panen atau anjloknya
harga, asuransi kecelakaan kerja pertanian, asuransi pendidikan keluarga
petani, asuransi kesehatan keluarga petani dll); (4). Kebijakan yang
menyangkut: pemberian insentif setiap panen hasil pertanian bagi petani
penggarap atau buruh tani; dan pemberian desinsentif bagi fiihak yang berminat
dalam alih fungsi lahan pertanian; (5). Kebijakan yang menyangkut pemberian
keringanan pajak khususnya sarana produksi pertanian dan penjualan hasil
pertanian dalam negeri.
4.
Instrumen Sosial dan
Politik
Perlu
diupayakan secara kongkrit dalam hal pembuatan : (1). Kebijakan yang pro rakyat
(meperhatikan benar-benar kepentingan rakyat termasuk hak kepemilikan dan
pengelolaan tanah pertanian. (2). Kebijakan pemasyarakatan dan upayanya
pemakaian kembali produk alam Indonesia , khususnya produk pertanian ke semua
lapisan (seluruh) masyarakat; (3). Kebijakan pemasyarakaran bahaya dan
pencegahannya dalam pembuatan dan pemakaian produk yang merugikan kehidupan
petani beserta keluarganya bahkan dapat merusak lingkungan; (4).Pemeloporan
secara pro aktif gerakan penghijauan setiap jengkal tanah oleh pemerintah dan
tokoh/lembaga swadaya masyarakat; (5).Pemeloporan gerakan secara pro aktif dan
pembentukan satgas sadar lingkungan dimulai dari RT hingga ke pusat dll; dan
(6). Kebijakan Pendampingan dan upayanya penerapannya agar petani dengan
secepatnya sadar dan pulih dari pengalaman kerugian yang diderita menyangkut
kehilangan hasil pertanian (pengelolaan yang tidak berhasil).
5.
Istrumen Pendidikan dan
IPTEKS
Perlu
di upayakan secara kongkrit dalam hal penerapan : (1). Pemberian pendidikan
bermoral bangsa Indonesia, ilmu, keterampilan dan seni yang me-madai dan
efektif tentang pengelolaan usaha pertanian yang prospektif yang dapat
dimanfaatkan dan dinikmati bagi konsumen; dan (2) .Pemberian ilmu pengetahuan
dan teknologi tepat guna yang sesuai dan terjangkau oleh kemampuan petani
seperti budidaya tanaman hias, sayuran, belut dll di lahan sempit.
2.4 Dampak
dari Konversi Lahan Pertanian
Dampak Konversi Lahan Pertanian
Konversi lahan pertanian pada umumnya berdampak sangat besar pada bidang sosial
dan ekonomi. Hal tersebut dapat terlihat salah satunya dari berubahnya fungsi
lahan. Konversi lahan juga berdampak pada menurunnya porsi dan pendapatan
sektor pertanian petani pelaku konversi dan menaikkan pendapatan dari sektor
non- pertanian. Konversi lahan berimplikasi atau
berdampak pada perubahan struktur agraria. Adapun perubahan yang terjadi,
yaitu:
1. Perubahan
pola penguasaan lahan.
Pola penguasaan tanah dapat
diketahui dari pemilikan tanah dan bagaimana tanah tersebut diakses oleh orang
lain. Perubahan yang terjadi akibat adanya konversi yaitu terjadinya perubahan
jumlah penguasaan tanah. Dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa petani pemilik
berubah menjadi penggarap dan petani penggarap berubah menjadi buruh tani.
Implikasi dari perubahan ini yaitu buruh tani sulit mendapatkan lahan dan
terjadinya prose marginalisasi.
2. Perubahan pola penggunaan tanah
Pola
penggunaan tanah dapat dari bagaimana masyarakat dan pihak-pihak lain
memanfaatkan sumber daya agraria tersebut. Konversi lahan menyebabkan
pergeseran tenaga kerja dalam pemanfaatan sumber agraria, khususnya tenaga
kerja wanita. Konversi lahan mempengaruhi berkurangnya kesempatan kerja di
sektor pertanian. Selain itu, konversi lahan menyebabkan perubahan pada
pemanfaatan tanah dengan intensitas pertanian yang makin tinggi.
3. Perubahan pola hubungan agraria
Tanah
yang makin terbatas menyebabkan memudarnya sistem bagi hasil tanah “maro”
menjadi “mertelu”. Demikian juga dengan munculnya sistem tanah baru yaitu
sistem sewa dan sistem jual gadai. Perubahan terjadi karena meningkatnya nilai
tanah dan makin terbatasnya tanah.
4. Perubahan pola nafkah agraria
Pola
nafkah dikaji berdasarkan sistem mata pencaharian masyarakat dari hasil-hasil
produksi pertanian dibandingkan dengan hasil non pertanian. Keterbatasan lahan
dan keterdesakan ekonomi rumah tangga menyebabkan pergeseran sumber mata
pencaharian dari sektor pertanian ke sektor non pertanian.
5. Perubahan Sosial dan Komonitas
Konversi
lahan menyebabkan kemunduran kemampuan ekonomi (pendapatan yang makin menurun).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Jumlah penduduk Indonesia tahun
1977 sekitar 135.000.000 jiwa dan tahun 2010 meningkat pesat hingga menjadi
berjumlah 237.556.363 jiwa (BPS Pusat, 2010). Menurut Biro Pusat Statistik
(2001) yang menyatakan, bahwa luas lahan sawah Indonesia pada tahun 1993 ±
8.500.000 ha selanjutnya pada tahun 2000 (7 tahun) telah menyusut serius hingga
menjadi tinggal seluas 7.790.000 ha atau susutnya lahan 710.000 ha atau setiap
tahunnya tanah sawah Indonesia menyusut 59,167 ha.
Faktor yang berpengaruh terhadap
alih fungsi lahan pertanian seperti di atas kiranya dapat dikelompokkan menjadi
10 faktor penting yang sering terjadi di suatu wilayah antara lain:
1. Faktor
Ekonomi
2. Faktor
Demografi
3. Faktor
Pendidikan dan IPTEKS
4. Faktor
Sosial dan Politik
5. Perubahan
Prilaku
6. Konversi
dan Pembagian Lahan Pertanian
7. Hubungan
Pemilik Lahan dengan Lahan dan Penggarap
8. Otonomi
Daerah dan Perkembangan Masyarakat didunia
9. Faktor
Kelembagaan
10. Faktor
Instrumen Hukum dan Penegakannya
Agar
pengendalian terhadap upaya alih fungsi lahan pertanian dapat efektip dan
efisien di suatu wilayah, maka ditawarkan strategi sbb:
1. Kebijakn
Pemerintah
2. Instrument
Hukum
3. Instrument
Ekonomi
4. Instrument
Soaial dan Politik
5. Instrument
Pendidikan dan IPTEKS
Dampak
Konversi Lahan Pertanian Konversi lahan pertanian pada umumnya berdampak sangat
besar pada bidang sosial dan ekonomi. Hal tersebut dapat terlihat salah satunya
dari berubahnya fungsi lahan. Konversi lahan juga berdampak pada menurunnya
porsi dan pendapatan sektor pertanian petani pelaku konversi dan menaikkan
pendapatan dari sektor non- pertanian. Konversi lahan berimplikasi atau
berdampak pada perubahan struktur agraria.
3.2 Saran
Semoga
makalah yang kami buat ini dapat bermanfaat bagi pembaca maupun bagi penulis
dan juga dapat digunakan sebagai referensi dalam pembuatan makalah yang
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
BPS
Pusat. 2001.Statistik Indonesia.Jakarta.
BPS
Pusat. 2010.Sensus Penduduk Indonesia 2010.Jakarta.
Balai
Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, 2011.Analisis Alih Fungsi Lahan dan
Keterkaitannya Dengan Karakteristik Hidrologi DAS Krueng Aceh.Bogor.
Nyak
Ilham, Yusman Syauki, Supeno Friyatno.20….? Perkembangan dan Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah Serta Dampak Ekonominya. Puslitbang Sosek
Pertanian Bogor dan Dep.Ilmu-Ilmu Sosek Pertanian IPB Bogor.
www.google.com/search?q=kebijakan+pengendalian+konversi+lahan+sawah+ke+non+pertanian&btnG=.com,
diakses pada tanggal 28 Oktober 2013.
0 komentar:
Posting Komentar